Tuesday, July 17, 2012

Aturan harga wajar reksadana positif bagi investor


Foto: Kontan.co.id


JAKARTA. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) akhir pekan lalu menetapkan revisi aturan IV.C.2. Aturan ini tentang nilai pasar wajar dari efek dalam perhitungan portofolio reksadana. Peraturan ini mengharuskan manajer investasi menetapkan nilai aktiva bersih sesuai dengan nilai wajar sesuai ketetapan Lembaga Penilai Harga Efek (LPHE). Aturan ini dinilai positif namun, manajer investasi harus menambah biaya (fee) manajemen.
Fadlul Imansyah, Vice President Head of Investment CIMB Principal Asset Management mengatakan, aturan tersebut mempermudah manajer investasi (MI) menghitung ulang harga obligasi sesuai dengan nilai pasar.
Sebelumnya, nilai pasar wajar surat utang berasal dari Himpunan Pedagang Surat Utang Negara (Himdasun). "Khusus obligasi korporasi pakai harga rata-rata tertimbang dari harga kejadian transaksi yang ada," papar dia. Karena volume transaksi tidak sebesar obligasi pemerintah, harga obligasi korporasi sering tidak mencerminkan harga pasar.
Nah karena itu, Bapepam LK mengutus LPHE sebagai lembaga yang menghitung nilai pasar wajar. Ada beberapa efek yang harus mereka nilai diantaranya, efek yang diperdagangkan di luar bursa, efek yang tidak aktif diperdagangkan di bursa dan efek yang diperdagangkan dalam denominasi mata uang asing. Selain itu, ada juga instrumen pasar uang dalam negeri yang berbentuk kontrak investasi kolektif dan lainnya.
Jika harga perdagangan terakhir tidak mencerminkan nilai pasar wajar pada saat itu, maka nilai pasar wajar dari efek tersebut harus menggunakan acuan LPHE.
Harga pasar wajar hanya akan dikeluarkan jika perusahaan dengan kondisi keuangan yang bagus. Jadi, perusahaan yang dinyatakan pailit, kemungkinan akan pailit, gagal membayar pokok utang atau bunga, tidak akan dinilai. Nilai pasar wajar memperhitungkan harga perdagangan terakhir efek dan kecenderungan harga efek.
Biaya manajemen
Saat ini baru satu LPHE yakni PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA).
Aturan ini menurut Fadlul membuat MI harus berlangganan layanan IBPA. "Seharusnya ini menjadi bagian dari biaya manajemen," kata dia. Tetapi, Fadlul menyakinkan, aturan ini tidak akan menambah beban investor CIMB Principal. Sebab, ongkos tersebut akan ditanggung manajer investasi.
Fadlul yakin dengan referensi dari LPHE maka memberi nilai positif. "Selama ini harga referensi yang digunakan kerap tidak mencerminkan harga pasar," ujar dia.
Maklum, obligasi masuk kategori efek yang diperdagangkan di luar bursa efek (over the counter). Dengan demikian penentuan nilai pasar wajar menggunakan harga referensi.
Hario Soeprobo, Head of PT First State Investment Indonesia pun mengaku senang dengan adanya revisi aturan ini. Sebab, harga acuan yang mark to market sudah menjadi kebutuhan manajer investasi. "Yang harus dicegah jangan sampai apa yang diinvestasikan investor tidak mengacu harga pasar," ucap dia. Hario mengaku aturan harga pasar wajar tidak memberatkan bagi mereka. First State aturan ini juga tidak akan memberatkan investor. Dia menambahkan, kalaupun biaya manajemen naik, nilainya akan sangat kecil.
Andreas Gunawidjaja, Direktur Mandiri Manajemen Investasi berharap peraturan ini bisa memberikan dampak yang baik bagi industri reksa dana. IBPA sebagai satu entitas yang mengkhususkan aktivitas pada penilaian obligasi dan surat berharga lainnya bisa mengerjakan sesuai harapan industri reksadana.
Kalau pendapat, Rudiyanto, pengamat pasar modal, harga acuan belum tentu merupakan harga wajar di pasar. Namun segi positifnya, penilaian harga pasar wajar, acuan tersebut bisa bersifat univesal terutama untuk obligasi korporasi yang kurang likuid. "Bapepam sudah cukup positif memberikan acuan harga seperti ini," tukas dia

Sumber: Kontan.co.id

No comments:

Post a Comment