Tuesday, July 31, 2012

Dollar sebagai ‘safe haven’ ?


Sumber gambar: goldalert.com

Seperti galibnya sinyal otomatis, tiap kali pasar finansial global dilanda ketidakpastian, aset-aset ‘safe haven’ pun menjadi buruan. Anehnya, salah satu aset yang dianggap aman dan likuid adalah aset dalam Dollar AS terutama US Treasury notes (Surat Utang Negara/SUN AS), selain juga aset-aset safe haven lain seperti Dollar Kanada, Franc Swiss dan Yen Jepang.



Alhasil, seiring dengan penguatan aset dalam Dollar AS, aset-aset di negara-negara Emerging Market (EM) pun melemah tajam karena dianggap berisiko. Contoh mutakhir adalah dampak gejolak ekonomi Eropa dalam tiga bulan terakhir ini terhadap harga obligasi AS. Imbal hasil obligasi AS berjangka 10 tahun telah anjlok ke level terendah di bawah 1,5%, -bandingkan dengan yield awal tahun 2012 yang masih berada di kisaran 2,0%.

Logika aset US$ sebagai ‘safe haven’ sebenarnya ganjil untuk suatu negara yang sedang terpuruk karena tumpukan utang dan ancaman resesi ekonomi. Kendati demikian, persepsi ‘safe haven’ tampaknya cukup membuat investor nyaman untuk menaruh dananya dalam aset US$ kendati tingkat bunga riil-nya sudah negatif. Itu mengapa saya memakai tanda kutip pada kata “safe haven’ karena pandangan ini hanyalah persepsi dan asumsi pasar belaka.

Persepsi ini antara lain muncul terkait posisi US$ yang sudah lebih dari 50 tahun menjadi fasilitator utama dalam aktivitas investasi dan perdagangan dunia –utamanya minyak. Posisi US$ sebagai mata uang jangkar memberikan manfaat (seigniorage) yang signifikan bagi konsumen dan sistem finansial AS yang ujung-ujungnya berkontribusi pada dominannya status geopolitik AS secara global. Satu hal lagi, posisi ini menjadi tak tergoyahkan karena ditopang oleh kekuatan militer yang mumpuni (sama seperti posisi Inggris dengan Poundsterling-nya sebelum era US$).

Persepsi US$ sebagai ‘safe haven’ tampaknya masih cukup kuat, kendati ekonomi AS secara fundamental terus dirundung masalah -http://desumualseconotes.blogspot.com/2005/02/rebalancing-dollar-euro-and-yen.html. Publikasi sejumlah data terkini bahkan menguatkan sinyalemen kemungkinan ekonomi AS kembali kehabisan napas.

Resesi ancam AS

Kondisi pasar kerja AS kembali memburuk dalam tiga bulan terakhir ini. Data Juni juga menunjukkan indeks ISM manufaktur kembali mengalami kontraksi. Pelemahan pasar kerja dan manufaktur tersebut dikhawatirkan akan kembali memukul pasar perumahan dan belanja konsumen.

Selain indikator sektor riil, gejala kemungkinan kembali melemahnya ekonomi AS juga tampak dari pelemahan pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dan stagnasi pertumbuhan kredit dalam beberapa bulan terakhir. Sinyal pelemahan ekonomi AS di atas memunculkan ekspektasi akan adanya program stimulus moneter lanjutan paling tidak sebelum tahun ini berakhir.

Secara fundamental, ekonomi AS memang sedang bermasalah. Total outstanding utang pemerintah per Juli 2012 tercatat sebesar US$15,9 triliun, yang berarti sudah lebih dari total Produk Domestik Bruto (PDB) AS yang sebesar US$15,5 triliun. Total utang ini belum termasuk utang swasta dan belum juga termasuk outstanding utang rumah tangga yang sekitar US$13 triliun. Kondisi ini mirip dengan apa yang dialami Inggris yang mulai kehilangan pamornya pada era depresi besar tahun 1929. Ketika itu, rasio utang pemerintah Inggris terhadap PDB sekitar 160 persen.

Dalam tiga tahun terakhir setelah krisis global 2008, utang AS tumbuh lebih dari 8 persen, sementara PDB-nya hanya tumbuh di bawah 2 persen. Ini berarti pemerintah AS sudah mengalami insolvensi dan masuk dalam perangkap utang (debt trap), karena utang sudah tumbuh empat kali lipat lebih cepat dari PDB.

Alhasil, sektor swasta AS dan pihak asing pun tampaknya kian enggan untuk mendanai anggaran pemerintahan AS. Pembelian netto asing terhadap SUN AS turun dari 4% PDB pada tahun 2009 menjadi 2,5% PDB pada tahun 2011. Contohnya, China sudah mengurangi pembelian US Treasury sejak tahun lalu. Kepemilikan China atas US Treasury telah berkurang dari $1,3 triliun pada Juli 2011 menjadi $1,1 triliun pada Mei 2012.

Bila dibiarkan, kondisi ini tentunya akan membahayakan proses pemulihan ekonomi AS. Jika pembelian US Treasury mengendur sementara ekonomi belum pulih dan defisit anggaran masih tinggi, maka pelaku ekonomi  tentunya akan menderita karena naiknya suku bunga. Ambil contoh pemilik rumah, mereka tentunya tak akan sanggup membayar cicilan rumahnya sehingga kian banyak yang mengalami negative equity karena nilai rumahnya sudah lebih rendah dari utang KPR-nya.

Tak ada cara lain, FED pun harus masuk untuk mensubsidi pemerintah dengan membeli US Treasury sehingga suku bunga pun tetap murah dan setidaknya persoalan defisit anggaran terkamuflase oleh rendahnya yield SUN AS. Sejak Januari 2009, nilai obligasi pemerintah yang dipegang FED sudah meningkat 5 kali lipat dari hanya US$302 milyar menjadi US$1,7 triliun pada Juli 2012.

Tak heran, FED sudah menjadi pemegang utama US Treasury menggantikan China dan Jepang dengan membeli sekitar 60 persen dari seluruh utang yang diterbitkan Kementerian Keuangan AS (monetisasi utang). Jadi dengan kata lain, selain aksi “flight to safety” dari investor, penurunan imbal hasil US Treasury juga dipengaruhi oleh pembelian FED.

Dalam jangka menengah, dominasi dollar AS kelihatannya akan kian mengendur. Banyak negara di dunia yang mulai menggunakan mata uangnya masing-masing dalam berdagang dan investasi. China contohnya sangat aktif melakukan internasionalisasi Yuan, antara lain dengan melakukan perjanjian swap mata uang bilateral maupun perjanjian penggunaan mata uang masing-masing dalam melakukan transaksi perdagangan. Selain dengan negara-negara Asia-Pasifik seperti Jepang, Korea, ASEAN, Russia dan India, China juga melakukan perjanjian kerjasama dengan negara-negara Arab, Afrika Selatan dan negara Amerika Latin seperti Brazil dan Chili.

Pengalaman krisis Asia dan Eropa mengajarkan kita bahwa kombinasi tumpukan utang dan twin deficit (defisit neraca berjalan dan defisit anggaran) sangat berbahaya. Satu saja peristiwa yang tak terduga (black swan) dapat mendorong terjadinya gejolak (shock) dalam perekonomian global. Kalaupun tak terjadi shock, saya perkirakan AS butuh waktu yang cukup lama untuk pulih berkelanjutan, mengingat konsumen dan pemerintah AS pun butuh beberapa dekade untuk menumpuk utang dalam rangka membiayai birokrasi, program jaminan sosial dan perang.

Jika skenario ini yang terjadi, posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia dan US$ sebagai mata uang jangkar pun akan berangsur pudar. Apalagi hingga kini, AS dalam upaya memulihkan perekonomiannya hanya mengandalkan quantitative easing/QE (cetak uang).

Ini sebenarnya sangat berisiko karena kebijakan QE di sisi lain juga mendorong tingkat leverage FED ke level yang sangat mengkhawatirkan (aset FED per Juli 2012 tercatat sebesar US$2,8 triliun, atau sekitar 53 kali modalnya yang sebesar US$52 milyar). Ini salah satu penyebab mengapa saya yakin dalam jangka menengah harga SUN AS akan direkayasa agar tetap rendah, karena penurunan nilai aset sebesar 1% saja dapat menggerus habis modal FED (jika ini terjadi tentu akan menggoyang kepercayaan pasar).

Inisiatif China

Kita tahu bahwa latar belakang diluncurkannya program meluncurkan program QE 1 pada November 2008 dan QE 2 pada November 2010 adalah krisis ekonomi AS yang dipicu oleh meletusnya gelembung properti (sub-prime mortgage). Dengan diserapnya toxic assets perbankan, seperti mortgage backed securities oleh FED, postur finansial perbankan AS diharapkan akan lebih sehat sehingga lebih siap untuk menyalurkan dananya ke sektor riil.

Namun, sama seperti yang juga terjadi di Eropa, data menunjukkan bahwa kebanyakan bank di AS kembali memarkir dananya di bank sentral (recycled back) akibat masih tingginya persepsi risiko. Situasi ini tampak jelas dari tren kredit yang kelihatan belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan, sementara dana excess reserve perbankan yang ditaruh di FED masih cukup tinggi.

Kendati QE berdampak signifikan pada imbal hasil US Treasury, tapi QE jelas tak berhasil mendorong penciptaan lapangan kerja dan malah mendorong timbulnya ketidapkastian. Pengaruh dari transmisi kebijakan moneter untuk menstimulasi perekonomian tampak lebih lemah dari biasanya karena lemahnya tingkat kepercayaan.

Pertanyaannya, kenapa tingkat kepercayaan asing, konsumen dan pebisnis lemah. Hal ini antara lain disebabkan oleh besarnya tumpukan utang. Di sisi lain, tak ada perubahan struktural yang berarti dalam mengatasi krisis fiskal, sehingga peluang penurunan kembali peringkat utang AS pun cukup besar.

Inisiatif sudah datang dari Bank Sentral China (BOC) sebagai pemegang cadangan devisa terbesar di dunia -http://desumualseconotes.blogspot.com/2004/03/world-needs-to-change-its-financial.html. Seperti yang telah dibahas di atas, BOC mulai giat melakukan kerjasama mata uang dan internasionalisasi Yuan untuk menghindari built in risiko karena besarnya ketergantungan dunia terhadap US$ sebagai reserve currency.

Karena itu, kita menyambut baik ditandatanganinya kerjasama BOC dan Bank Indonesia dalam Agency Agreement on Bond Investment in the Interbank Bond Market of China. Dengan perjanjian ini, Indonesia bisa melakukan diversifikasi investasi dalam obligasi China dalam rangka mitigasi risiko mengingat masih tingginya ketidakpastian ekonomi global.



Penulis: David Sumual, telah melakoni profesi sebagai seorang ekonom sejak tahun 1997. Setelah melewatkan dua tahun bersama Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FEUI), yakni sejak tahun 1997 hingga 1999, David bergabung dengan tim riset ekonomi Danareksa Research Institute (DRI).

Sumber: Kontan.co.id

No comments:

Post a Comment