Tuesday, July 17, 2012

Andianto Setiabudi (Pendiri Cipaganti Group): Belajar Dari Krisis


Foto: Bisnis.com

Berbagai masalah terus mengikuti kesuksesan Andianto Setiabudi. Bagi pemilik Cipaganti Group ini, masalah justru memacunya menemukan solusi jitu dan semakin bijak dalam membuat keputusan.

Tidak heran jika Cipaganti yang berawal dari showroom mobil bekas, kini menjelma menjadi sebuah perusahaan besar yang merambah berbagai sektor, mulai dari travel, taksi, sewa alat berat, pertambangan, hingga perhotelan. Berikut wawancara Bisnis dengan pria bersahaja itu baru-baru ini.

Bagaimana awal berdirinya  Cipaganti?

Usaha saya dimulai di Bandung pada 1985, ketika otomotif booming. Sebelumnya, saya membantu orang tua memproduksi makanan ringan pada 1979 hingga lulus SMA 1981, sampai akhirnya orang tua saya meninggal pada 1986.

Mulai 1985, saya mencoba berdagang mobil bekas, dimulai dari canvassing [reparasi] armada mobil boks bekas untuk angkutan makanan ringan itu. Awalnya, punya tujuh unit dan sebagian yang agak tua direparasi sebelum dijual, kemudian saya beli lagi yang baru.

Belajarnya dari situ, pengalaman mempercantik mobil, memasarkan, mencari mobil yang bisa untung. Pelan-pelan, saya memasarkan mobil jenis lain, seperti jeep. Bisnis terus berjalan, saya bermitra dengan beberapa teman dan armada terus bertambah.

Jual beli mobil ternyata lebih menguntungkan, pelan-pelan modal dari bisnis makanan ringan saya alihkan ke bisnis baru itu. Apalagi bisnis makanan saat itu kurang bagus sejak orang tua meninggal. Saya membuat kerupuk, kue tambang, sukro, kacang Bandung.

Bisnis makanan ringan akhirnya saya tutup pada 1987. Waktu itu, putaran uang cepat, partner yang biasa beli mobil ikut bergabung. Modal menjadi besar dan armada bertambah. Waktu itu ada mahasiswa yang mengajak orang tuanya H. Maksum, pemilik otobus Senang Hati, bergabung. Kami kemudian mendirikan Cipaganti Motor.

Saya mengoperasikan lima showroom, ditambah satu yang belum jadi. Pada 1987-1991, saya sempat punya enam showroom dengan jumlah mobil sekitar 150 unit.

Bagaimana Anda akhirnya masuk ke bisnis travel?

Pada masa itulah saya buka relasi dengan perbankan, pemerintah daerah, properti, leasing dan lain-lain. Relasi sangat luas. Namun, pada 1991 terjadi tight money policy, kebijakan uang ketat, stok mobil saya tidak bergerak.

Orang tidak berani beli mobil karena bunga tinggi, Suplai di pasar berlimpah, harga turun. Saya juga tidak berani jual murah karena rugi. Akhirnya saya tahan stok, sebab penga laman 6 tahun berbisnis mobil bekas tidak pernah harga turun.

Jual mobil itu soal waktu saja, ada mobil yang cepat terjual dan ada yang lama terjual. Jadi saya pikir 2-3 bulan akan normal lagi, ternyata kondisi tidak bagus-bagus juga, harga mobil turun terus. Nilai stok saat itu saya hitung-hitung tinggal 60%-an aki bat harga turun, beban bunga yang tinggi, dan biaya operasi.

Padahal, saya pinjam bank untuk bayar mobil dan showroom. Saya putuskan tahan mobil hingga harga stabil. Relasi saya di perusahaan kontraktor juga kesulitan beli mobil karena bunga tinggi. Mereka usul bagaimana kalau mobil saya disewakan saja. Tapi saya belum mengerti bagaimana caranya, belum pernah ada yang menyewakan mobil saat itu di Bandung. Setelah dihitung-hitung, saya setuju. Saya dapat 4% per 20 hari, cukup untuk membayar bunga bank, biaya overhead dan menutup biaya yang lain. Saya pikir coba dulu, ternyata berjalan lancar. Namun, kalau cuma menyewakan enam unit tidak bisa menutup biaya, kebetulan cara menghitungnya sudah ketemu.

Saya pasang iklan waktu itu di koran Pikiran Rakyat dengan penyewaan cara leasing dengan mencontoh perjanjian leasing. Seluruh unit saya sewakan, syaratnya cukup dengan KTP. Saat itu booming, tetapi kendalanya sebagian besar mobil sudah tua. Pelan-pelan, saya ganti dengan armada baru, tetapi pola bisnisnya sudah berubah menjadi rental mobil.

Selama 1991-1994 banyak kejadian, mobil disewa untuk merampok, dijaminkan oleh penyewa, dikejar polisi dan ditembak sampai bolong-bolong. Banyak mobil yang ditahan di kantor polisi dan harus diurus satu per satu. Kalau sampai ada yang kehilangan nyawa, kami jadi saksi. Itu pelan-pelan saya benahi dengan membuat aturan yang lebih kuat. Sewa tidak boleh lepas kunci, kalau sewa jangka pendek harus pakai so pir. Tapi pasarnya waktu itu sudah terbuka.

Bagaimana persaingan bisnis saat itu?

Begitu Cipaganti meledak, semua ikut sampai usaha rumahan. Waktu itu memang masa booming rental sampai dengan 1995 dan mereka semua ikut cara saya. Sewa mobil lepas kunci, tetapi mereka juga banyak masalah.

Pasar terbuka, rental sudah dikenal oleh masyarakat, saya benahi dan pelan-pelan disewakan ke korporasi. Itu terus berjalan dan semakin teratur sistemnya. Dengan pengawasan yang lebih baik, bisnis berkembang. Kemudian buka lagi bisnis travel mulai 2000-an.

Pertama kali buka jurusan Bandung-Sukabumi, tetapi saya gagal. Kemudian, buka jurusan Bogor sukses, buka lagi jurusan Bandara Soekarno-Hatta sukses juga. Waktu itu belum ada jalan tol Cipularang, semua harus lewat Puncak.

Saya buka lagi jurusan Jakarta, terus jalan sampai dengan 2006 saat jalan tol Cipularang dioperasikan. Bisnis terus menggurita, saya kemudian buka sistem shuttle, bus pariwisata, kargo/paket, serta tour dan ticketing untuk mendukung angkutan bandara, dan terakhir bisnis taksi. Pada 2007 menjadi konsep transportasi terpadu dan setiap cabang Cipaganti melayani konsep itu. Bisnis travel pada 2000-an menjadi fenomena dan Cipaganti menjadi generik karena pemain pertama.

Apa ide awal sehingga ide bisnis travel tercetus?

Begini, sejak 2000 sudah ada travel door to door. Saat itu, di Jawa Barat travel seperti itu terkenal, ada Travel 4848 [Subur Ban]. Saya waktu kecil pun sudah naik travel itu. Kan saya sudah punya bekas showroom, sekalian saja dipakai untuk kantor travel. Kantor dan karyawannya diberdayakan.

Saya mengembangkan shuttle point to point karena lebih banyak trip. Kalau door to door Cuma sekali jalan, sedangkan shuttle bisa dua kali trip sehingga untungnya lebih besar dan konsumen pindah ke shuttle karena menghemat waktu.

Orang melihat Cipaganti itu sebuah perusahaan travel, bagaimana Anda bisa terjun ke bisnis lain?

Pada 1994, saya sudah masuk ke bisnis properti. Relasi terbuka waktu bisnis jual beli mobil. Dulu saya pernah sewa lahan untuk jemur kerupuk, lahannya luas sekali. Saat itu, saya kenal dengan bank, yang menawarkan bisnis perumahan. Waktu itu bisnis properti memang sedang bagus.

Konsepnya cari lahan, sementara kredit [KPR] rumahnya disiapkan oleh bank, dipasarkan bersama-sama. Saya kemudian mendatangi pemilik lahan jemur kerupuk itu dan mengajaknya bekerja sama. Ternyata perumahan itu laku, kemudian saya bangun lagi di daerah lain.

Pada 1995, secara kebetulan, saya masuk ke bisnis alat berat. Saya kan juga menyewakan mobil ke perusahaan tekstil dan ternyata mereka perlu alat berat untuk penggantian mesin. Pabrik tesktil rutin mengganti mesin dan perlu alat berat untuk memindahkan mesin lama dengan yang baru.

Untuk memindahkan mesin itu perlu forklift, sehingga saya buka divisi forklift pada 1996-1997. Namun, forklift cuma untuk angkat barang 5-6 ton, sementara pabrik tekstil itu perlu memindahkan boiler yang beratnya 20-25 ton, jadi perlu crain.

Saya coba lagi sewakan crain, lalu divisinya menjadi Cipaganti Forklift dan Crain. Bisnis ini berjalan dengan baik sampai 1997. Pada 1998, Indonesia kena krisis moneter, rental mobil susut, begitu juga alat berat. Perumahan tidak jalan karena bunga tinggi tetapi karena joint dengan pemilik tanah, saya tidak kena kredit bank, walaupun tidak bisa dipasarkan.

Pada 1999, bisnis mulai bergerak lagi. Pada 2000, saya masuk ke Bengkulu melalui keluarga saudara saya yang memimpin divisi alat berat. Ada perusahaan batu bara baru operasi dan perlu sewa ekskavator lima-enam unit, saya beli bekas dan kirim ke Bengkulu untuk buka lahan.

Sewa selama 1 tahun dan unit balik lagi. Ekskavator masih bagus, sewanya juga bagus, saya pikir lebih menguntungkan dari forklift dan crain.

Saya kan asal Banjarmasin. Di daerah itu banyak pertambangan batu bara, tetapi saya masih pikir-pikir karena jauh. Jadi sejak 2001, saya baru masuk pada 2004 ke Banjarmasin. Saya bawa ekskavator dan buldoser bekas, lalu diperbaiki. Ternyata di sana jadi rebutan, mereka bayar sewa dimuka.

Pada 2004, saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ada otonomi daerah, kirim berapa pun alat berat habis disewa. Karena permintaan besar, saya bikin kontrak dengan Caterpillar dan United Tractor. Pada 2005, saya pesan ekska vator ke Caterpillar 100 unit, jumlah yang besar sekali pada waktu itu.

Saya sempat terima beberapa kali pengiriman masing-masing 10 unit sampai ada penertiban tambang pada saat Kapolri Sukamto. Semua tambang liar yang disebut juga tambang bupati ditertibkan. Pengusaha tambang tiarap semua, sementara saya sudah telanjur beli ekskavator. Saya bingung mau disewakan kemana alat berat itu. Akhirnya, usaha saya diam hampir 1 tahun di Banjarmasin, semua alat berat balik ke pool.

Saya pikir bakal repot kalau usaha itu tidak bergerak juga. Tadinya saya cuma fokus di Banjarmasin dan Batulicin, belakangan saya diversifikasi, tidak bisa hanya andalkan batu bara. Akhirnya saya sebar ke Kalimantan Tengah, masuk ke perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Sebagian unit ditarik ke Bandung dan sewakan lagi ke Banjar untuk angkut pasir dan lain-lain.

Akhirnya divisi alat berat ini bukannya makin kecil, malah makin luas dan besar. Cabang kami sekarang sudah di tiga pulau, yakni Jawa, Sumatra (Pekanbaru, Muarabungo, Jambi), dan Kalimantan [kecuali Kalbar masih dipersiapkan]. Di Sulawesi kami akan masuk pada tahun ini, di industri nikel.

Bagaimana masa depan bisnis alat berat ini dan dampaknya ke bisnis Cipaganti secara keseluruhan?

Dengan terbukanya bisnis alat berat, saya menemukan kekuatan Cipaganti yang sesungguhnya saat ini. Kontribusi masih 50:50 antara otojasa dan alat berat, tetapi ke depan akan menjadi tulang punggung yang sangat kuat. Sebab alat berat ini sewanya bagus dan bisa masuk ke bisnis batu bara. Ini menjadi pendapatan yang saling mendukung.

Pada 2008, kami sudah masuk ke sektor mining. Dari penyewaan alat berat ini, mitra kami sebenarnya banyak yang menawarkan kerja sama. Saya sediakan alat, mereka siapkan kuasa pertambangannnya. Tapi saat itu saya belum berani, saya sewakan saja karena belum mengerti mining. Pakai kaca mata kuda.

Akhirnya, pada 2008 saya beranikan diri masuk sendiri. Kami urus langsung, teliti sendiri di lapangan, yang potensi diajukan perizinannya. Saat itu krisis ekonomi global, saya belum berani eksploitasi walaupun ada izinnya. Setelah kondisi ekonomi membaik pada 2009, saya baru gali di Penajam pada 2010. Luas lahannya cuma 100 hektare, itupun kerja sama dengan koperasi dan merangkul penduduk setempat.

Kami bahkan juga masuk ke bisnis lain, yaitu tambang pasir besi di Tasikmalaya. Sudah mulai produksi bahan baku dan lain-lain. Sedang disiapkan, kami sudah kumpulkan bahan baku dan tinggal produksi.

Pabriknya segera dibangun, sebelum aturan berlaku pada 2014. Sudah studi kelayakan, termasuk menyiapkan pelabuhan yang dekat dengan lokasi smelter-nya. Kandungan pasir besi yang dimiliki sekarang sekitar 20 juta ton.

Saya juga akan melangkah ke bisnis kelapa sawit, tetapi sementara masih perlu bisnis yang perputaran dananya lebih cepat, adanya di pertambangan. Sekarang fokusnya di batu bara dan pasir besi. Bisnis tambang kan bisa cepat, sekarang cuma 100 ha, tetapi beberapa tahun lagi bisa jadi ribuan ha, karena seluk-beluknya sudah tahu.

Bisnis Cipaganti terus menggurita. Apakah Anda juga bermimpi untuk masuk ke bisnis penerbangan?

He he… Ujung-ujungnya pasti ke sana. Kalau terintegrasi, tidak hanya di darat, tetapi juga laut dan udara.

Bagaimana Anda mengawasi bisnis yang makin besar?

Salah satunya dengan memperkuat teknologi informasi. TI disiapkan menjadi pengendali paling depan. Kami sedang menyiapkan layanan e-commerce. Sistem pembayarannya bekerja sama dengan bank. Intinya, kami komit dan concern untuk mengembangkan sistem online yang terintegrasi untuk memudahkan konsumen.

Jadi jaringan teknologi informasi (TI) harus kuat, tidak hanya untuk pemasaran, tetapi juga untuk pengawasan.

Sumber: Bisnis.com

No comments:

Post a Comment