Thursday, July 12, 2012

Korporasi : Memelihara Kepercayaan


Foto: Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Usahawan Sudhamek Agoeng menelepon teman dekatnya dan berkata, ”Lowongkah engkau siang ini? Ayo makan di kantorku. Ada makanan dari rumah.” Sudhamek tampak penuh ria tatkala temannya mengiyakan ajakannya.

Pukul 12.05, teman Sudhamek tiba dan mereka kemudian makan-minum sambil bercerita panjang lebar. Percakapan mereka kerap diselingi derai tawa. Dan, karena lezat, 60 persen makanan itu tandas.

Makanan khas rumahan itu sederhana. Tidak dalam wujud spektakuler sebagaimana biasanya makanan restoran kelas satu. Namun, karena kedua sahabat itu memang bersahaja, segalanya mengalir wajar. Hal yang menarik, mereka bercakap-cakap tentang pertumbuhan perusahaan yang menakjubkan. Sudhamek, Chief Executive Officer Garudafood, bercerita tentang ekspor produknya di 23 negara di lima benua berjalan mulus. Ia menyiapkan ekspansi dalam lingkup amat luas.

Menyukai makanan dari rumah ini tampak pula pada sejumlah usahawan , di antaranya Ciputra, Sukanta dari Grup Sinar Sahabat, dan Trihatma Haliman dari Grup Agung Podomoro. Mereka pun akrab dengan baju batik, kemeja polos.

Trihatma bertutur, mereka bersahaja karena sudah menjadi kebiasaan ketika memulai karier dari level paling bawah. Pulang sekolah dari Jerman, ia bekerja bersama para tukang, pengangkat bata dan pasir. Ketika sukses membawa Agung Podomoro sebagai megagrup properti, sikapnya tidak berubah. Tetap menyukai makanan dari rumah yang dikerjakan istri, dari sinilah tumbuh spirit dan ketekunan luar biasa.

Ia mengatakan, kesederhanaan menggugah kita berpikir dalam spektrum luas dan dalam. Kalau merancang megaproyek, misalnya, selalu bening, lurus, tidak ruwet. Ribuan karyawan ditangani dengan sikap sama, tidak membeda-bedakan.

Kepada anak buahnya, ia suka menggugah mereka agar tidak telantarkan keluarga. Hiduplah sesuai dengan kemampuan, jangan banyak kebutuhan. Terlampau banyak kebutuhan biasanya menjerumuskan seseorang bertindak ilegal demi pemenuhan kebutuhannya. ”Ich bin aus dem einfachen Leben glucklich (saya berbahagia karena hidup sederhana),” katanya.

Perilaku ugahari, tambah usahawan Sukanta, juga mendorong seorang pengusaha menjadi lebih ulet, tidak lupa daratan. Ia bercerita, sejumlah usahawan besar Indonesia lahir dari bilik-bilik kecil di Jalan Pintu Kecil. Dulu, tahun 1950-an hingga awal 1970, pintu kecil dijuluki ”Wall Street” Indonesia karena aktivitasnya sebagai pusat perdagangan dan bisnis berspektrum luas. Yang menarik, kendati menjadi usahawan besar, termasuk eksportir tekstil yang masyhur, para pebisnis mantan ”Pintu Kecil” itu tetap bersahaja. Mereka mengenakan celana pendek, lengan pendek, bahkan kalau berada di biliknya hanya mengenakan kaus dalam cap Swan karena udara sangat pengap.

Dari kesederhanaan sikap itu, tumbuh saling percaya. Kata Sukanta, ”Dulu mana ada cek dan akta notaris. Seseorang bisa mengambil barang dari pedagang lain senilai ratusan juta rupiah (angka amat besar pada masa itu) hanya dengan anggukan kepala. Namun, semua pinjaman dikembalikan tanpa cacat. Sekarang gaya bisnis seperti itu sudah lesap, sejalan dengan melemahnya sikap hidup sederhana dan menurunnya saling percaya.

Tentu kini sudah sulit kembali ke langgam seperti itu. Namun, sikap bersahaja, dan dari situ lahir lompatan-lompatan bisnis besar, sangat memungkinkan. Gaya boleh, tetapi kualitas kerja jauh lebih penting.

Editor :Rusdi Amral


Sumber: Kompas.com

No comments:

Post a Comment